BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sekarang ini semakin banyak muncul masalah dalam bidang
muamalah. Dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
masalahpun semakin kompleks, khususnya dalam bidang fiqhiyah. Untuk menyikapi kondisi
yang seperti ini, kita dituntut untuk dapat berfikir secara logis serta tetap
konsisten memegang teguh dasar-dasar agama Islam.
Manusia sebagai makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah.
Praktek muamalah yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam meminjam,
sewa menyewa, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak
hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan
hadist sebagai dasarnya.
Salah satu bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sewa menyewa. Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting
untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun,
syarat, serta hal-hal yang diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar
manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa menyewa yang sering dilakukan
dalam kehidupannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Ijarah?
2.
Apa landasan Ijarah?
3.
Apa saja rukun Ijarah?
4.
Apa saja macam dan syarat Ijarah?
5.
Bagaiman hukum sewa menyewa dan upah
mengupah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah adalah بَيْعُ
المنْفَعَةِ (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut termologi syara’.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah
menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a.
Ulama Hanafiyah:
عَقْدٌ
عَلَى المنَاَفِعِ بِعَوْضٍ
Artinya
: “Akad suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.
Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌ
عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ
وَالإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya
: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu.”
c.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah:
تَمْلِيْكُ
مَنَافِعِ شَىْءٍ مُبَاحَةٍ مُدَةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya
:”Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti. ”
Ada
yang menerjemahkan, Ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang.[1]
Jumhur Ulama
Fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan
adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan
pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumber untuk diambil
airnya , dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.[2]
Menanggapi
pendapat diatas, Wahhab Al-Juhaili mengutip Ibnu Qayyim dalam I’lam
Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal Ijarah sebagaimana ditetapkan ulama
fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dalam
Al-Qur’an, As-Snnah, Ijma’ maupun Qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang
mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya
pohon yang mengeluarkan buah, pohonya tetap ada dan dapat dihikumi manfaat,
sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaatdari sesuatu atau
sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama
saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu
manfaat dikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.
2.
Landasan Syara’ Ijarah
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan
dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar
Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qosyani, Nahrawi, dan Ibnu
kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfaatan, yang tidak dapat
dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan
jual-beli.
Dalam menjawab pandangan Ulama yang tidak menyepakati Ijarah
tersebut, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak terbentuk,
dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur Ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an, As-Sunah, dan Ijma’.
a.
Al-Qur’an
فَاِنْ
اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
Artinya
: “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya.” (ath-tholaq: 6)
قَالَتْ
اِحْدَاهُمَا يَااَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ القَوِيُّ
اْلأَمِيْنُ . قَالَ اِنِّي اُرِيْدُ اَنْ أُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ
هَاتَيْنِ عَلَى اَنْ تَأْجُرَنِى ثمَاَنِيَ حِجَجٍ فَإِنْ اَتَمَمْتَ
عَشْرًافَمِنْ عِنْدِكَ...
Artinya : “salah
seorang dari jedua wanita itu derkata, “Ya-ayahku, ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berikanlah dia (Syua’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu.”( QS. Al-Qashash : 26-27)
b.
As-Sunah
اُعْطُوااْلاَجِيْرَ
اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عِرَقُهُ (رواه
ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya
: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah
dari Ibn Umar)
مَنِ
اسْتَأْجَرَ اَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ (رواه
عبدالرزاق عن أبي هريرة)
Atinya
: “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c.
Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa Ijarah
dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
3.
Rukun Ijarah
Menurut Ulama
Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antar lain dengan menggunakan
kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4) empat, yaitu:
1.
Aqid (orang yang akad)
2.
Shighat akad
3.
Ujroh (upah)
4.
Manfaat[3]
4.
Macam-macam
Ijarah
Ijarah terdiri
dari dua macam, yaitu ijarah ‘ain (sewa langsung) dan ijarah dzimmah (sewa
tidak langsung)
1. Ijarah ‘ain adalah
sewa atas manfaat dari sesuatu yang sudh tentu (secara langsung manfaatnya
didapat dari barang yang disewa). Misalnya, seseorang berkata, “Aku sewakan
rumah ini atau mobil ini, “saat menyewa mobil tertentu yang sudah diketahui
oleh dua orang yang bertransaksi.
Syarat-syarat
Ijarah ‘Ain
a. Barang yang disewakan sudah ditentukan.
Tidak sah menyewakan salah satu dari dua mobil tanpa ditentukan (yang mana yang
akan disewakan).
b. Barang yang disewakan ada dan disaksikan
oleh kedua belah pihak yang bertransaksi saat transaksi dilakukan. Jika
seseorang mengatakan”saya sewakan rumah, mobil kepadamu”, sedangkan keduanya
tidak berada di rumah yang diakadkan atau mobil tidak berada ditempat akad
dilangsungkan, transaksinya tidak sah, kecuali kedua orang ini sudah melihat
barangnya beberapa saat sebelum akad.
c. Pemenuhan manfaat tidak boleh
ditangguhkan dari waktu akad. Misalnya, menyewakan rumah untuk satu tahun atau
satu bulan, tetapi dihitung sejak awal bulan yang sudah lewat. Hal-hal seperti
terlarang, kecuali dilakukan oleh orang yang saat akad tengah menyewa benda itu
untuk suatu masa yang berakhir saat waktu sewa baru dimulai. Dalam kasus ini,
transaksi ijarah sah karena sifatnya hanya memperpanjang waktu sewa.
Kasus ini sama dengan menyewa barang untuk dua masa dalam satu kali akad.[4]
2. Ijarah dzimmah
adalah sewa atas manfaat dari sesuatu yang dikuasai (dioperasikan atau diatur)
seseorang (bukan dari barangnya secara langsung). Misalnya, menyewa seseorang
untuk mengantar ke suatu tempat menggunakan mobil yang tengah dioperasikannya
atau menyewa mobil yang dioperasikannya untuk jangka waktu tertentu. Pada zaman
sekarang, transaksi yang termasuk dalam jenis ijarah dzimmah ini adalah
penggunaan berbagai alat transportasi umum. Persewaannya kembali kepada manfaat
yang datang dari penguasaan atas barang itu, bukan langsung dari barang yang
disewa.
a. Upah sewa harus diberikan langsung saat
transaksi karena ijarah jenis ini menyerahkan manfaat secara langsung.
Maka dari itu, upah sewa pun harus diserahkan secara langsung di tempat
transaksi. Jika ada penangguhan, sama saja dengan tidak adanya penyerahan
langsung.
Jika kedua belah pihak
sepakat untuk menangguhkan upah sewa, transaksi tidak sah sekalipun akan
dibayarkan ditempat yang sama. Juga tidak sah saat keduanya tidak bersepakat
atas penangguhan, tetapi pembayaran tidak dilakukan langsung di tempat akad.
b. Hendaknya, barang yang akan disewakan
dijelaskan bentuk, macam dan sifatnya. Misalnya, menyewa jasa pengiriman paket
ke luar negeri. Pemilik perusahaan harus menjelaskan transportasi yang akan
digunakan untuk mengantarkan paket tersebut, menggunakan transportasi udara,
laut, atau darat: kendarannya besar atau kecil: jenis baru atau lam; dan
penjelasan lain yang penting untuk dijelaskan.
5.
Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah
atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah
terhadap benda-benda yang diharamkan
a. Ketetapan
Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah
adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.
Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai
dengan keberadaan manfaat
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan
masa sewa seperti benda yang tampak.
1. Keberadaan
upah dan hubungannya dengan akad
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, keberadaan
upah bergantung pada adanya akad.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki
berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung
pada kebutuhan ‘aqid
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah
didasarkan pada tiga perkara:
a. Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam
zat akad
b. Mempercepat tanpa adanya syarat
c. Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi
sedikit. Jika dua orang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah, hal itu
dibolehkan.
2. Barang
sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanfiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih
(barang sewaan) harus diberikan setelah akad
3. Ijarah
dikaitkan dengan masa yang akan datang
Ijarah untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama
Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah, sedangkan Syafi’iyah melarangnya selagi
tidak bersambung dengan waktu akad.
b. Cara
Memanfaatkan Barang Sewaan
1. Sewa rumah
Jika seorang menyewa rumah, dibolehkaan untuk
memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau orang lain,
bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2. Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa
yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak
dijelaskan, ijarah dipandang rusak
3. Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan
lainnya harus dijelaskan salah satu di antara dua hal, yaitu waktu dan tempat.
Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akn diangkut.[5]
c. Perbaikan
Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang
disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain,
pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinnya, tetapi ia tidak boleh dipaksa
sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya
sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab
dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan
sampah atau tanah merupakan kewajban penyewa.
d. Kewajiban
Penyewa Setalah Habis Masa Sewa
Diantara kewajiban penyewa setelah masa
sewa habis adalah:
1. Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah
2. Jika yang disewa kendaraan, ia harus
menyimpannya kembali di tempat asalnya.
6.
Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya
berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan
lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua, yaitu:[6]
a. Ijarah
khusus
Yaitu,
pekerja yang disewa untuk bekerja sampai batas waktu tertentu. Penyewa berhak
memanfaatkan tenagannya sepanjang waktu itu. Pekerja pun berhak atas upah
sekalipun tidak ada yang dikerjakan. Bisa juga, pekerja ini disewa untuk suatu
pekerjaan dan tidak boleh menerima pekerjaan dari orang lain sebelum
pekerjannya selesai, seperti buruh pabrik, penjaga toko, dan pekerja garmen.
Demikian pula tukang cat, tukang tembok, dan tukang kayu di rumah yang harus
bekerja di tempat penyewa atau menuntut kehadirannya. Pekerja-pekerja seperti
ini tidak perlu memberikan jaminan (ganti rugi) atas pekerjaan mereka dan
perkakas yang mereka gunakan untuk bekerja, kecuali mereka mempergunakannya
secara berlebihan sampai rusak, sengaja merusaknya, atau tidak menjagannya
dengan baik. Secara hukum, penyewa berhak penuh atas tenaga pekerja. Ia hanya
meminta tolong kepadanya untuk mengerjakan dan membuat sesuatu. Oleh sebab itu,
statusnya seperti orang yang menunjuk wakil (untuk pekerjannya)
b. Ijarah
Musytarik
Yaitu,
pekerja yang disewa untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Ia berhak atas
upah setelah pekerjaannya selesai. Ia pun masih mungkin menerima pekerjaan yang
sama dari orang lain pada waktu yang sama. Biasanya, pekerjaannya tidak harus
dikerjakan di tempat penyewa dan tidak menuntut ia harus hadir disana. Ia bisa
mengerjakannya secara mandiri di rumah, toko atau pabriknya, seperti tukang
jahit, tukang sepuh, dan bengkel mobil. Pekerja-pekerja seperti ini oleh para
ahli fikih kadang disebut sebagai al-shunna (tukang) juga tidak perlu
memberikan jaminan ganti rugi, kecuali mereka bertindak melampaui batas. Barang
yang dipegang oleh para pekerja ini statusnya amanah. Ia dianjurkan untuk
menjaganya. Upah yang ia terima hanyalah kompensasi dari pekerjaannya,
sedangkan barang-barang yang dipegangnya semata-mata untuk kepentingan penyewa.
Oleh sebab itu, ia tidak diharuskan mengganti (kerusakan), kecuali ia melebihi
batas atau lalai.[7]
Abu Yusuf
dan Muhammad, pengikut Mazhab Hanfiyah, berpendapat bahwa ajir Musytarak harus
mengganti barang yang rusak yang digunakannya, kecuali kerusakan itu disebabkan
oleh hal-hal yang umum terjadi dan tidak mungkin dihindari, seperti dikarenakan
kebakaran atau tenggelam. Jika kerusakan terjadi akibat sesuatu yang pada
umumnya bisa dihindari, seperti karena dicuri, ia harus memberikan ganti rugi.
Argumentasi mereka sebagai berikut: mereka adalah orang-orang yang menjaga
kemaslahatan orang lain. Jika mereka menerima upah, tetapi tidak disertai
jaminan atas perkakas yang mereka pakai, mereka akan menyepelekan barang dan
harta milik penyewa. Merekapun sesungguhnya menerima pekerjaan yang dapat mereka
jaga (barangnya), sedangkan orang lain sangat memerlukan jasa mereka.
Kemaslahatan orang lain yang ada di tangan mereka mengharuskan mereka menjaga
harta milik orang lain yang ada di tangan mereka.
7. Hak
Memanfaatkan (Barang Sewaan)
Telah diketahui bahwa apabila akad ijarah telah dilaksanakan
secara sempurna, penyewa menjadi pemilik atas manfaat barang yang disewa
sehingga ia berhak sepenuhnya untuk menggunakan manfaat barang itu.
Penyewa dapat memanfaatkan barang yang disewanya untuk dirinya sendiri
maupun orang lain. Bila menyewa sebuah rumah, ia boleh menempatinya sendiri
atau bersama orang lain, boleh juga hanya orang lain ia minta untuk
menempatinya, baik dalam konteks dipinjamkan maupun disewakan kembali.
Seandainya orang yang menyewakan mensyaratkan kepada penyewa agar hanya
dimanfaatkan sendiri, transaksi ijarah tidak sah. [8]
Barang sewaan boleh dimanfaatkan oleh orang
lain dengan syarat-syarat sebagai berikut:[9]
1. Hendaknya, orang yang diserahi barang
sewaan dapat menggunakannya secara amanah
2. Hendaknya, ia mempergunakannya untuk jenis
pemanfaatan yang sama dengan penyewa atau yang lebih resikonya terhadap barang
sewaan itu. Bila seorang menyewa rumah untuk dijadikan tempat tinggal, ia tidak
boleh menyerahkannya kepada orang lain untuk digunakan sebagai pabrik atau.
a.
Ijarah yang Rusak dan Upah Sewa Pengganti
Apabila salah satu syarat ijarah tidak terpenuhi, ijarah-nya menjadi
rusak. Penyewa harus menyerahkan kembali barang yang disewanya jika barang itu
sudah ada ditangannya. Akan tetapi, bila barang itu sudah digunakan atau sudah
lewat batas waktu sewa, ia wajib membayar upah sewa pengganti sesuai penggunaan
barang secara sempurna
Upah sewa pengganti (ujrah al-mitsl) adalah upah yang biasanya
ditentukan oleh ahli sebagai pengganti barang atau jasa yang disewa. Sementara
itu, upah sewa yang ditentukan adalah upah sewa yang disepakati di antara dua
pihak yang berakad. Jumlahnya bisa lebih banyak atau lebih sedikit dari upah
sewa pengganti.
Diwajibkan membayar upah sewa pengganti dalam ijarah (sewa-menyewa)
yang rusak (tidak memenuhi syarat) karena pada dasarnya, ijarah adalah
jual-beli manfaat. Jika akadnya rusak, upah sewa yang sudah ditetapkan kedua
belah pihak pun tidak mesti ada sebab adanya upah karena ada akad, sedangkan
akadnya hilang (rusak). Akan tetapi, manfaat barang sewa seperti barang yang
dijual. Bila sudah diambil, penggantinya harus ada. Inilah yang dimaksud upah sewa
pengganti.
b.
Jaminan (Ganti Rugi) Barang Sewa
Penguasaan penyewa atas barang sewaan termasuk dalam kategori amanah.
Oleh sebab itu, ia tidak perlu memberikan ganti rugi atas kerusakan barang yang
bersangkutan, baik saat dipakai, sebelum, atau sesudahnya. Sudah haknya barang
itu berada di tangannya karena ia tidak mungkin memanfaatkannya sebagai
konsekuensi dari akad ijarah, kecuali dengan cara menguasai dan
menggunakan barang itu. Barang yang disewa tidak perlu dijamin oleh penyewa
sepanjang ia tidak menggunakannya di luar batas-batas kewajaran atau tetap
menjagannya dengan baik.
8. Berakhirnya
Akad Ijarah
Transaksi Ijarah berakhir dan
hukum-hukumnya tidak berlaku lagi karena hal-hal berikut[10]
1. Al-Faskh (Pembatalan)
Ijarah adalah jenis akad yang mengikat dua belah pihak. Artinya, setelah akad
ini sah, orang yang menyewakan atau menyewa tidak boleh membatalkan akad
semuanya. Akad ini juga tidak boleh dibatalkan, kecuali karena ada uzur (alas
an logis dan syar’i). Jika akad batal, proses ijarah-nya pun berhenti.
Diantara uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah adalah sebagai
berikut.
a. Rusaknya barang yang disewakan dalam jenis ijarah
‘ain (sewa langsung). Bila seorang menyewa rumah atau mobil yang sudah
ditentukan, kemudian rumah itu rusak atau mobil itu mogok sebelum digunakan,
akad ijarah batal karena yang disewakan menjadi cacat sehingga tidak
mungkin lagi dimanfaatkan.
Jika jenis ijarah-nya adalah ijarah
dzimmah (sewa tidak langsung), seperti seorang menumpang mobil untuk
mengantarkannya ke suatu tempat, kemudian mobil mogok atau rusak di tengah
jalan, transaksi sewanya tidak batal. Pemilik mobil harus mencari mobil
penggantinya, baik sebelum penyewa mendapatkan manfaat maupun baru mendapatkan
sebagiannya, karena objek yang ditransaksikan tidak hilang karena rusaknya
mobil. Akad yang dilakukan bukan terhadap mobil yang ditumpangi, melainkan
terhadap jasa tumpangannya sehingga masih mungkin untuk dicarikan penggantinya.
b. Barang yang disewa tidak diserahkan dalam
rentang waktu akad. Jika jenis ijarah-nya adalah ijarah ‘ain (sewa
langsung), pemanfaatan barang dibatasi waktu dan ketika waktu sudah habis orang
yang menyewakan belum menyerahkan barang sewanya, ijarah-nya batal. Hal
itu disebabkan, objek akad sudah hilang sebelum dimanfaatkan.
Jika ijarah-nya adalah ijarah
dzimmah (sewa tidak langsung) dan orang yang disewa tidak dapat
menghadirkan manfaat sesuai ketentuan waktu yang disepakati, transaksi itu
batal. Namun, jika batas berkaitan dengan tujuan si penyewa, lalu orang yang
menyewakan tidak dapat menghadirkan manfaat sampai batas waktu yang
memungkinkan baginya untuk itu, transaksi tidak batal, juga tidak dapat
dibatalkan. Statusnya sama dengan utang yang terlambat dibayarkan.
2. Ijarah yang
Tidak Dapat Dibatalkan
a. Ijarah tidak batal karena beralihnya kepemilikan
barang dari orang yang menyewakan kepada orang lain. Misalnya, seseorang
menyewakan rumahnya, kemudian ia menghibahkan atau menjual rumah itu kepada
orang lain maka akad ijarah yang sudah dilakukan sebelumnya tidak batal.
Hal itu disebabkan, akad ijarah kembali kepada manfaatnya (bukan
barangnya) sehingga tidak menghalangi proses transaksi jual beli barangnya.
Setelah akad hibah atau jual-beli, kepemilikan barang beralih ke tangan orang
yang diberi atau pembeli sebagai pemilik baru, tetapi manfaatnya tidak. Hak
pemanfaatannya tetap berada di tangan penyewa sampai berakhirnya masa sewa.
Akan tetapi, pembeli boleh melakukan khiyar (memilih untuk meneruskan
transaksi atau membatalkan) jika ia tidak mengetahui bahwa rumah itu disewakan
atau ia mengetahui, tetapi tidak mengetahui jangka waktunya.
b. Iijarah juga tidak batal karena meninggalnya salah
seorang yang bertransaksi (penyewa atau menyewakan) atau keduanya. Akad sewa
tetap berlaku sampai waktu habis. Hal itu disebabkan, akad ijarah adalah
akad mengikat yang tidak dapat dibatalkan karena kematian sama dengan jual beli
dan ahli waris penyewa masih dapat melanjutkan pemanfaatan barang yang disewa.
c. Ijarah pun tidak batal karena uzur (halangan) yang
terjadi di luar hal yang diakadkan. Contohnya, seorang menyewakan mobil
sekaligus akan ikut menumpang. Pada saatnya, ia sakit dan tidak dapat ikut
bersama dengan penyewa.
Hal yang menghalangi pembatalan adalah
bahwa dalam kasus di atas tidak terjadi kerusakan pada objek yang
ditransaksikan, orang yang berakad masih dapat menunjuk orang lain untuk
memanfaatkannya.
Khiyar (Hak Memilih) dalam Transaksi Ijarah
1. Khiyar
karena tempat dan syarat akad.
Memilih tempat dan syarat tidak boleh
dilakukan di dalam akad ijarah karena akad ijarah termasuk akad
yang tidak pasti (gharar dan akad atas
sesuatu yang tidak kongkret). Ijarah disyariatkan untuk memudahkan urusan manusia.
Khiyar (pilihan) pun merupakan sesuatu yang tidak pasri pula. Oleh sebab
itu, khiyar tidak boleh dilakukan dalam ijarah. Jika dilakukan, sama saja
menggabungkan sesuatu yang tidak pasti kepada sesuatu yang tidak pasti pula.
Ini tidak dibenarkan.
2.
Khiyar aib
(memilih karena rusak). Khiyar aib boleh dilakukan dalm ijarah ‘ain
(sewa langsung). Penyewa boleh memelih (khiyar) antar meneruskan sewaan atau
membatalkannya apabila terjadi kerusakan paa barang yang disewakan dan berpengaruh pada efek manfaat pada dengan
perbedaan yang timpang antara saat masih utuh dan ketika sudah cacat selama
orang yang menyewakan memperbaiki kerusakan barangnya. Misalnya, seorang
menyewa tanah untuk ditanami, lalu aliran airnya terputus, atau menyewa mobil
untuk ditumpangi, lalu mogok. Ia tidak perlu membayar apapun atas pembatalan
yang dilakukannya jika kerusakan terjadi sebelum digunakan sama sekali. Namun,
jika kerusakan terjadi setelah digunakan, ia harus membayar upah-sewa seukuran
pemanfaatan yang berdasarkan dihitung dari keseluruhan harga yang
disepakatisaat akad[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya
bukan bendanya.
2.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an, As-Sunah, dan Ijma’.
a.
Al-Qur’an
فَاِنْ
اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
b.
As-Sunah
اُعْطُوااْلاَجِيْرَ
اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عِرَقُهُ (رواه
ابن ماجه عن ابن عمر)
c.
Ijma’ umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa Ijarah
dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia
3.
Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4) empat, yaitu:
1.
Aqid (orang yang akad)
2.
Shighat akad
3.
Ujroh (upah)
4.
Manfaat
4.
Ijarah
‘ain
Syarat-syarat Ijarah
‘Ain
a.
Barang
yang disewakan sudah ditentukan
b.
Barang
yang disewakan ada dan disaksikan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi saat
transaksi dilakukan
c. Pemenuhan manfaat tidak boleh
ditangguhkan dari waktu akad.
Ijarah dzimmah
5. a. Keberadaan upah dan hubungannya dengan
akad
b. Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad
c. Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Dib Al-Bugha Musthafa. 2010. Buku Pintar Transaksi
Syari’ah. (Jakarta: PT Mizan Publika)
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi’
Syaikh al-‘Allamah. 2010. Fiqh Empat Mazhab. (Bandung: Hasyimi)
Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. (Bandung:
CV Pustaka Setia)
[2] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman
ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 297
0 komentar:
Posting Komentar