Rabu, 13 Mei 2015

Ijarah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada masa sekarang ini semakin banyak muncul masalah dalam bidang muamalah. Dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masalahpun semakin kompleks, khususnya dalam bidang fiqhiyah. Untuk menyikapi kondisi yang seperti ini, kita dituntut untuk dapat berfikir secara logis serta tetap konsisten memegang teguh dasar-dasar agama Islam.
Manusia sebagai makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai dasarnya.
Salah satu bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sewa menyewa. Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta hal-hal yang diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa menyewa yang sering dilakukan dalam kehidupannya.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Ijarah?
2.      Apa landasan Ijarah?
3.      Apa saja rukun Ijarah?
4.      Apa saja macam dan syarat Ijarah?
5.      Bagaiman hukum sewa menyewa dan upah mengupah?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah adalah بَيْعُ المنْفَعَةِ  (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut termologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a.        Ulama Hanafiyah:
عَقْدٌ عَلَى المنَاَفِعِ بِعَوْضٍ
Artinya : “Akad suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung  maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyyah dan Hanabilah:
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَىْءٍ مُبَاحَةٍ مُدَةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya :”Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. ”
Ada yang menerjemahkan, Ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.[1]
Jumhur Ulama Fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumber untuk diambil airnya , dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.[2]
Menanggapi pendapat diatas, Wahhab Al-Juhaili mengutip Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal Ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dalam Al-Qur’an, As-Snnah, Ijma’ maupun Qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonya tetap ada dan dapat dihikumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaatdari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat dikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.

2.      Landasan Syara’ Ijarah
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qosyani, Nahrawi, dan Ibnu kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual-beli.
Dalam menjawab pandangan Ulama yang tidak menyepakati Ijarah tersebut, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak terbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur Ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah, dan Ijma’.
a.         Al-Qur’an
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
Artinya : “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (ath-tholaq: 6)
قَالَتْ اِحْدَاهُمَا يَااَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ القَوِيُّ اْلأَمِيْنُ . قَالَ اِنِّي اُرِيْدُ اَنْ أُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى اَنْ تَأْجُرَنِى ثمَاَنِيَ حِجَجٍ فَإِنْ اَتَمَمْتَ عَشْرًافَمِنْ عِنْدِكَ...
Artinya : “salah seorang dari jedua wanita itu derkata, “Ya-ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berikanlah dia (Syua’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.”( QS. Al-Qashash : 26-27)

b.         As-Sunah
اُعْطُوااْلاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عِرَقُهُ (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibn Umar)
مَنِ اسْتَأْجَرَ اَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ (رواه عبدالرزاق عن أبي هريرة)
Atinya : “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c.         Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa Ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
3.      Rukun Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antar lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4) empat, yaitu:
1.      Aqid (orang yang akad)
2.      Shighat akad
3.      Ujroh (upah)
4.      Manfaat[3]
4.      Macam-macam Ijarah
Ijarah terdiri dari dua macam, yaitu ijarah ‘ain (sewa langsung) dan ijarah dzimmah (sewa tidak langsung)
1.      Ijarah ‘ain adalah sewa atas manfaat dari sesuatu yang sudh tentu (secara langsung manfaatnya didapat dari barang yang disewa). Misalnya, seseorang berkata, “Aku sewakan rumah ini atau mobil ini, “saat menyewa mobil tertentu yang sudah diketahui oleh dua orang yang bertransaksi.
Syarat-syarat Ijarah ‘Ain
a.       Barang yang disewakan sudah ditentukan. Tidak sah menyewakan salah satu dari dua mobil tanpa ditentukan (yang mana yang akan disewakan).
b.      Barang yang disewakan ada dan disaksikan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi saat transaksi dilakukan. Jika seseorang mengatakan”saya sewakan rumah, mobil kepadamu”, sedangkan keduanya tidak berada di rumah yang diakadkan atau mobil tidak berada ditempat akad dilangsungkan, transaksinya tidak sah, kecuali kedua orang ini sudah melihat barangnya beberapa saat sebelum akad.
c.       Pemenuhan manfaat tidak boleh ditangguhkan dari waktu akad. Misalnya, menyewakan rumah untuk satu tahun atau satu bulan, tetapi dihitung sejak awal bulan yang sudah lewat. Hal-hal seperti terlarang, kecuali dilakukan oleh orang yang saat akad tengah menyewa benda itu untuk suatu masa yang berakhir saat waktu sewa baru dimulai. Dalam kasus ini, transaksi ijarah sah karena sifatnya hanya memperpanjang waktu sewa. Kasus ini sama dengan menyewa barang untuk dua masa dalam satu kali akad.[4]
2.      Ijarah dzimmah adalah sewa atas manfaat dari sesuatu yang dikuasai (dioperasikan atau diatur) seseorang (bukan dari barangnya secara langsung). Misalnya, menyewa seseorang untuk mengantar ke suatu tempat menggunakan mobil yang tengah dioperasikannya atau menyewa mobil yang dioperasikannya untuk jangka waktu tertentu. Pada zaman sekarang, transaksi yang termasuk dalam jenis ijarah dzimmah ini adalah penggunaan berbagai alat transportasi umum. Persewaannya kembali kepada manfaat yang datang dari penguasaan atas barang itu, bukan langsung dari barang yang disewa.
a.       Upah sewa harus diberikan langsung saat transaksi karena ijarah jenis ini menyerahkan manfaat secara langsung. Maka dari itu, upah sewa pun harus diserahkan secara langsung di tempat transaksi. Jika ada penangguhan, sama saja dengan tidak adanya penyerahan langsung.
Jika kedua belah pihak sepakat untuk menangguhkan upah sewa, transaksi tidak sah sekalipun akan dibayarkan ditempat yang sama. Juga tidak sah saat keduanya tidak bersepakat atas penangguhan, tetapi pembayaran tidak dilakukan langsung di tempat akad.
b.      Hendaknya, barang yang akan disewakan dijelaskan bentuk, macam dan sifatnya. Misalnya, menyewa jasa pengiriman paket ke luar negeri. Pemilik perusahaan harus menjelaskan transportasi yang akan digunakan untuk mengantarkan paket tersebut, menggunakan transportasi udara, laut, atau darat: kendarannya besar atau kecil: jenis baru atau lam; dan penjelasan lain yang penting untuk dijelaskan.

5.      Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan
a.      Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.
Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
1.      Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, keberadaan upah bergantung pada adanya akad.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung pada kebutuhan ‘aqid
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara:
a.       Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad
b.      Mempercepat tanpa adanya syarat
c.       Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit. Jika dua orang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah, hal itu dibolehkan.
2.      Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanfiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad
3.      Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
Ijarah untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah, sedangkan Syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan waktu akad.
b.      Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
1.      Sewa rumah
Jika seorang menyewa rumah, dibolehkaan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2.      Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijarah dipandang rusak
3.      Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu di antara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akn diangkut.[5]
c.       Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinnya, tetapi ia tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajban penyewa.
d.      Kewajiban Penyewa Setalah Habis Masa Sewa
Diantara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah:
1.      Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah
2.      Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya.

6.         Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua, yaitu:[6]

a.       Ijarah khusus
Yaitu, pekerja yang disewa untuk bekerja sampai batas waktu tertentu. Penyewa berhak memanfaatkan tenagannya sepanjang waktu itu. Pekerja pun berhak atas upah sekalipun tidak ada yang dikerjakan. Bisa juga, pekerja ini disewa untuk suatu pekerjaan dan tidak boleh menerima pekerjaan dari orang lain sebelum pekerjannya selesai, seperti buruh pabrik, penjaga toko, dan pekerja garmen. Demikian pula tukang cat, tukang tembok, dan tukang kayu di rumah yang harus bekerja di tempat penyewa atau menuntut kehadirannya. Pekerja-pekerja seperti ini tidak perlu memberikan jaminan (ganti rugi) atas pekerjaan mereka dan perkakas yang mereka gunakan untuk bekerja, kecuali mereka mempergunakannya secara berlebihan sampai rusak, sengaja merusaknya, atau tidak menjagannya dengan baik. Secara hukum, penyewa berhak penuh atas tenaga pekerja. Ia hanya meminta tolong kepadanya untuk mengerjakan dan membuat sesuatu. Oleh sebab itu, statusnya seperti orang yang menunjuk wakil (untuk pekerjannya)
b.      Ijarah Musytarik
Yaitu, pekerja yang disewa untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Ia berhak atas upah setelah pekerjaannya selesai. Ia pun masih mungkin menerima pekerjaan yang sama dari orang lain pada waktu yang sama. Biasanya, pekerjaannya tidak harus dikerjakan di tempat penyewa dan tidak menuntut ia harus hadir disana. Ia bisa mengerjakannya secara mandiri di rumah, toko atau pabriknya, seperti tukang jahit, tukang sepuh, dan bengkel mobil. Pekerja-pekerja seperti ini oleh para ahli fikih kadang disebut sebagai al-shunna (tukang) juga tidak perlu memberikan jaminan ganti rugi, kecuali mereka bertindak melampaui batas. Barang yang dipegang oleh para pekerja ini statusnya amanah. Ia dianjurkan untuk menjaganya. Upah yang ia terima hanyalah kompensasi dari pekerjaannya, sedangkan barang-barang yang dipegangnya semata-mata untuk kepentingan penyewa. Oleh sebab itu, ia tidak diharuskan mengganti (kerusakan), kecuali ia melebihi batas atau lalai.[7]
Abu Yusuf dan Muhammad, pengikut Mazhab Hanfiyah, berpendapat bahwa ajir Musytarak harus mengganti barang yang rusak yang digunakannya, kecuali kerusakan itu disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi dan tidak mungkin dihindari, seperti dikarenakan kebakaran atau tenggelam. Jika kerusakan terjadi akibat sesuatu yang pada umumnya bisa dihindari, seperti karena dicuri, ia harus memberikan ganti rugi. Argumentasi mereka sebagai berikut: mereka adalah orang-orang yang menjaga kemaslahatan orang lain. Jika mereka menerima upah, tetapi tidak disertai jaminan atas perkakas yang mereka pakai, mereka akan menyepelekan barang dan harta milik penyewa. Merekapun sesungguhnya menerima pekerjaan yang dapat mereka jaga (barangnya), sedangkan orang lain sangat memerlukan jasa mereka. Kemaslahatan orang lain yang ada di tangan mereka mengharuskan mereka menjaga harta milik orang lain yang ada di tangan mereka.
7.      Hak Memanfaatkan (Barang Sewaan)
Telah diketahui bahwa apabila akad ijarah telah dilaksanakan secara sempurna, penyewa menjadi pemilik atas manfaat barang yang disewa sehingga ia berhak sepenuhnya untuk menggunakan manfaat barang itu.
Penyewa dapat memanfaatkan barang yang disewanya untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Bila menyewa sebuah rumah, ia boleh menempatinya sendiri atau bersama orang lain, boleh juga hanya orang lain ia minta untuk menempatinya, baik dalam konteks dipinjamkan maupun disewakan kembali. Seandainya orang yang menyewakan mensyaratkan kepada penyewa agar hanya dimanfaatkan sendiri, transaksi ijarah tidak sah. [8]
Barang sewaan boleh dimanfaatkan oleh orang lain dengan syarat-syarat sebagai berikut:[9]
1.      Hendaknya, orang yang diserahi barang sewaan dapat menggunakannya secara amanah
2.      Hendaknya, ia mempergunakannya untuk jenis pemanfaatan yang sama dengan penyewa atau yang lebih resikonya terhadap barang sewaan itu. Bila seorang menyewa rumah untuk dijadikan tempat tinggal, ia tidak boleh menyerahkannya kepada orang lain untuk digunakan sebagai pabrik atau.
a.      Ijarah yang Rusak dan Upah Sewa Pengganti
Apabila salah satu syarat ijarah tidak terpenuhi, ijarah-nya menjadi rusak. Penyewa harus menyerahkan kembali barang yang disewanya jika barang itu sudah ada ditangannya. Akan tetapi, bila barang itu sudah digunakan atau sudah lewat batas waktu sewa, ia wajib membayar upah sewa pengganti sesuai penggunaan barang secara sempurna
Upah sewa pengganti (ujrah al-mitsl) adalah upah yang biasanya ditentukan oleh ahli sebagai pengganti barang atau jasa yang disewa. Sementara itu, upah sewa yang ditentukan adalah upah sewa yang disepakati di antara dua pihak yang berakad. Jumlahnya bisa lebih banyak atau lebih sedikit dari upah sewa pengganti.
Diwajibkan membayar upah sewa pengganti dalam ijarah (sewa-menyewa) yang rusak (tidak memenuhi syarat) karena pada dasarnya, ijarah adalah jual-beli manfaat. Jika akadnya rusak, upah sewa yang sudah ditetapkan kedua belah pihak pun tidak mesti ada sebab adanya upah karena ada akad, sedangkan akadnya hilang (rusak). Akan tetapi, manfaat barang sewa seperti barang yang dijual. Bila sudah diambil, penggantinya harus ada. Inilah yang dimaksud upah sewa pengganti.
b.      Jaminan (Ganti Rugi) Barang Sewa
Penguasaan penyewa atas barang sewaan termasuk dalam kategori amanah. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memberikan ganti rugi atas kerusakan barang yang bersangkutan, baik saat dipakai, sebelum, atau sesudahnya. Sudah haknya barang itu berada di tangannya karena ia tidak mungkin memanfaatkannya sebagai konsekuensi dari akad ijarah, kecuali dengan cara menguasai dan menggunakan barang itu. Barang yang disewa tidak perlu dijamin oleh penyewa sepanjang ia tidak menggunakannya di luar batas-batas kewajaran atau tetap menjagannya dengan baik.
8.      Berakhirnya Akad Ijarah
Transaksi Ijarah berakhir dan hukum-hukumnya tidak berlaku lagi karena hal-hal berikut[10]
1.      Al-Faskh (Pembatalan)
Ijarah adalah jenis akad yang mengikat dua belah pihak. Artinya, setelah akad ini sah, orang yang menyewakan atau menyewa tidak boleh membatalkan akad semuanya. Akad ini juga tidak boleh dibatalkan, kecuali karena ada uzur (alas an logis dan syar’i). Jika akad batal, proses ijarah-nya pun berhenti. Diantara uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah adalah sebagai berikut.
a.       Rusaknya barang yang disewakan dalam jenis ijarah ‘ain (sewa langsung). Bila seorang menyewa rumah atau mobil yang sudah ditentukan, kemudian rumah itu rusak atau mobil itu mogok sebelum digunakan, akad ijarah batal karena yang disewakan menjadi cacat sehingga tidak mungkin lagi dimanfaatkan.
Jika jenis ijarah-nya adalah ijarah dzimmah (sewa tidak langsung), seperti seorang menumpang mobil untuk mengantarkannya ke suatu tempat, kemudian mobil mogok atau rusak di tengah jalan, transaksi sewanya tidak batal. Pemilik mobil harus mencari mobil penggantinya, baik sebelum penyewa mendapatkan manfaat maupun baru mendapatkan sebagiannya, karena objek yang ditransaksikan tidak hilang karena rusaknya mobil. Akad yang dilakukan bukan terhadap mobil yang ditumpangi, melainkan terhadap jasa tumpangannya sehingga masih mungkin untuk dicarikan penggantinya.
b.      Barang yang disewa tidak diserahkan dalam rentang waktu akad. Jika jenis ijarah-nya adalah ijarah ‘ain (sewa langsung), pemanfaatan barang dibatasi waktu dan ketika waktu sudah habis orang yang menyewakan belum menyerahkan barang sewanya, ijarah-nya batal. Hal itu disebabkan, objek akad sudah hilang sebelum dimanfaatkan.
Jika ijarah-nya adalah ijarah dzimmah (sewa tidak langsung) dan orang yang disewa tidak dapat menghadirkan manfaat sesuai ketentuan waktu yang disepakati, transaksi itu batal. Namun, jika batas berkaitan dengan tujuan si penyewa, lalu orang yang menyewakan tidak dapat menghadirkan manfaat sampai batas waktu yang memungkinkan baginya untuk itu, transaksi tidak batal, juga tidak dapat dibatalkan. Statusnya sama dengan utang yang terlambat dibayarkan.
2.      Ijarah yang Tidak Dapat Dibatalkan
a.       Ijarah tidak batal karena beralihnya kepemilikan barang dari orang yang menyewakan kepada orang lain. Misalnya, seseorang menyewakan rumahnya, kemudian ia menghibahkan atau menjual rumah itu kepada orang lain maka akad ijarah yang sudah dilakukan sebelumnya tidak batal. Hal itu disebabkan, akad ijarah kembali kepada manfaatnya (bukan barangnya) sehingga tidak menghalangi proses transaksi jual beli barangnya. Setelah akad hibah atau jual-beli, kepemilikan barang beralih ke tangan orang yang diberi atau pembeli sebagai pemilik baru, tetapi manfaatnya tidak. Hak pemanfaatannya tetap berada di tangan penyewa sampai berakhirnya masa sewa. Akan tetapi, pembeli boleh melakukan khiyar (memilih untuk meneruskan transaksi atau membatalkan) jika ia tidak mengetahui bahwa rumah itu disewakan atau ia mengetahui, tetapi tidak mengetahui jangka waktunya.
b.      Iijarah juga tidak batal karena meninggalnya salah seorang yang bertransaksi (penyewa atau menyewakan) atau keduanya. Akad sewa tetap berlaku sampai waktu habis. Hal itu disebabkan, akad ijarah adalah akad mengikat yang tidak dapat dibatalkan karena kematian sama dengan jual beli dan ahli waris penyewa masih dapat melanjutkan pemanfaatan barang yang disewa.
c.       Ijarah pun tidak batal karena uzur (halangan) yang terjadi di luar hal yang diakadkan. Contohnya, seorang menyewakan mobil sekaligus akan ikut menumpang. Pada saatnya, ia sakit dan tidak dapat ikut bersama dengan penyewa.
Hal yang menghalangi pembatalan adalah bahwa dalam kasus di atas tidak terjadi kerusakan pada objek yang ditransaksikan, orang yang berakad masih dapat menunjuk orang lain untuk memanfaatkannya.
Khiyar (Hak Memilih) dalam Transaksi Ijarah
1.      Khiyar karena tempat dan syarat akad.
Memilih tempat dan syarat tidak boleh dilakukan di dalam akad ijarah karena akad ijarah termasuk akad yang tidak pasti (gharar dan akad atas sesuatu yang tidak kongkret). Ijarah disyariatkan untuk memudahkan urusan manusia. Khiyar (pilihan) pun merupakan sesuatu yang tidak pasri pula. Oleh sebab itu, khiyar tidak boleh dilakukan dalam ijarah. Jika dilakukan, sama saja menggabungkan sesuatu yang tidak pasti kepada sesuatu yang tidak pasti pula. Ini tidak dibenarkan.
2.      Khiyar aib (memilih karena rusak). Khiyar aib boleh dilakukan dalm ijarah ‘ain (sewa langsung). Penyewa boleh memelih (khiyar) antar meneruskan sewaan atau membatalkannya apabila terjadi kerusakan paa barang yang disewakan  dan berpengaruh pada efek manfaat pada dengan perbedaan yang timpang antara saat masih utuh dan ketika sudah cacat selama orang yang menyewakan memperbaiki kerusakan barangnya. Misalnya, seorang menyewa tanah untuk ditanami, lalu aliran airnya terputus, atau menyewa mobil untuk ditumpangi, lalu mogok. Ia tidak perlu membayar apapun atas pembatalan yang dilakukannya jika kerusakan terjadi sebelum digunakan sama sekali. Namun, jika kerusakan terjadi setelah digunakan, ia harus membayar upah-sewa seukuran pemanfaatan yang berdasarkan dihitung dari keseluruhan harga yang disepakatisaat akad[11]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.
2.      Jumhur Ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah, dan Ijma’.
a.       Al-Qur’an
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
b.      As-Sunah
اُعْطُوااْلاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عِرَقُهُ (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
c.       Ijma’ umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa Ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia
3.      Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4) empat, yaitu:
1.      Aqid (orang yang akad)
2.      Shighat akad
3.      Ujroh (upah)
4.      Manfaat
4.      Ijarah ‘ain
Syarat-syarat Ijarah ‘Ain
a.       Barang yang disewakan sudah ditentukan
b.      Barang yang disewakan ada dan disaksikan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi saat transaksi dilakukan
c.       Pemenuhan manfaat tidak boleh ditangguhkan dari waktu akad.
Ijarah dzimmah
5.      a. Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
b. Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad
c. Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang



DAFTAR PUSTAKA
Dib Al-Bugha Musthafa. 2010. Buku Pintar Transaksi Syari’ah. (Jakarta: PT Mizan Publika)
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi’ Syaikh al-‘Allamah. 2010. Fiqh Empat Mazhab.    (Bandung: Hasyimi)
Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. (Bandung: CV Pustaka Setia)





[1] Rachmat, Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.121
[2] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 297
[3] Rachmat, Syafe’I, Fiqih, hlm.125
[4] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2010), hlm.164
[5] Rachmat, Syafe’I, Fiqih, hlm.133
[6] Ibid,
[7] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku, hlm. 170
[8] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku, hlm. 177
[9] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku, hlm.167
[10] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku, hlm. 172
[11] Mustafa Dib Al-Bugha, Buku, hlm. 176

0 komentar:

Posting Komentar

Gambar tema oleh enjoynz. Diberdayakan oleh Blogger.

© Life is Syari'ah, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena