Kamis, 14 Mei 2015

Ihya'ul Mawat



PEMBAHASAN
Ihya’ul Mawat
A.    Definisi Ihya’ul Mawat
Ihya’ul mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap,[1] kemudian memamurkannya dengan menanam pohon di dalamnya, atau membangun rumah di atasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya.[2]
Para ulama’ fiqh mendefinisikan ihya al-mawat sebagai berikut :
1.      Asy-Syarbaini al-Khatib berpendapat bahwa ­ihya al-mawat  adalah menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan seorangpun.
2.      Menurut Idris Ahmad yang dimaksud ihya al-mawat  ialah memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun, sawah dan lainnya.
3.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ihya al-mawat adalah penggarapan lahan atau tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaaan irigasi serta jauh dari pemukiman.
Ihyal al-mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadai tertanami, yang tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian, perkebunan maupaun untuk bangunan. Indikasi yang mneunjukkan kepada adanya ihya al-mawat adalah dengan memnggarap tanah tersebut, misalnya jika tanah itu ditujukan untuk keperluan pertanian atau perkebunan tanah tersebut dicagkul, dibuatkan irigasai dan lainnya. [3]

B.     Landasan Hukum Ihya’ul Mawat.
Rasulullah Saw, bersabda:
مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Barang siapa yang membagun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah itu”. (HR Riwayat Imam Al-Bukhari).

مَنْ اَحْيَا اَرْضَ مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ  
Barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadis tersebut para ulama berpendapat bahwa hukum ihya al-mawat adalah mubah bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang mana hadis di atas memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadi lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah Swt, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
C.     Cara-cara mengolah ihya’ul mawat dan syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang cara mengelola lahan yang menjadi objek ihya’ul mawat.
1.      Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, cara pengolahannya adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohanan yang ada didalamnya, mencangkul lahannya, membuat saluran irigasinya, baik dengan menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman-tanaman produktif serta memagarinya.
2.      Menurut Syafi’iyyah, mengatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong, dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan untuk lahan tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan dibangun rumah diatasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, dan menanaminya dengan tanaman produktif.
3.      Menurut Hanabilah, cara pengelolaan ihya’ul mawat  adalah cukup dilakukan dengan memagar lahan yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan, maupun perumahan.[4]
Adapun cara  pemberdayaan alam atau Pemberdayaan ihya’ul mawat dalam buku Fikih Ulama Klasik dan Kontemporer, antara lain:
Pemberdayaan alam dan lingkungan apabila milik pemerintah tentunya harus ada perizinannya dari pemerintah yang bersangkutan. Dalam pemberdayaan sumber daya alam ditempuh dengan pola sebagai berikut:
a.       Pengembangan pertanian dan pekebunan, yaitu menyuburkan tanah yang gersang untuk pertanian atau perkebunan dengan teknologi pertanian, menggunakan sistem pengairan, atau memberikan pola pupuk yang sesuai dengan tanamannya.
b.      Pengembangan industri. Tanah yang belum diberdayakan itu didirikan bangunan, tempat-tempat industri atau didirikan pasar atau kegunaan industri dan bisnis lainnya.
c.       Didirikan tempat-tempat kegiatan sosial, misalnya, tempat rekreasi atau tempat-tempat lain yang memberikan manfaat bagi masyarkat.[5]
Syarat-syarat pengelolaan ihya’ul mawat terkait dengan orang yang mengolah, lahan yang akan diolah, dan proses pengolahan.
1.      Syarat yang terkait dengan orang yang mengolah. Untuk orang yang mengolah menurut ulama Syafi’iyah harus orang muslim.adapun non-muslim tidak berhak mengolah sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Sementara ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan mengolah tanah itu disyaratkan tidak seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya orang muslim dan non-muslim dalam mengolah lahan kosong, yang terpenting kegunaannya selain untuk dirinya juga bermanfaat untuk masyarakat banyak.
2.      Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap. Untuk kepentingan ini disyaratkan
a.       Lahan itu bukan lahan yang telah dimiliki seseorang
b.      Lahan itu bukan lahan yang dijadikan sarana umum bagi sebuah perkampungan, seperti lapangan olahraga, lahan untuk mengembala ternak, dan lahan untuk pemakaman.
3.      Syarat yang terkait dnegan pengolahan lahan
a.       Pengolahan harus mendapatakan izin dari pemerintah
b.      Lahan tersebut harus sudah diolah dalam waktu yang telah ditentukan

D.    Izin Penguasa dalam Ihya’ul Mawat
Para ulama berbeda berpendapat tentang perlunya izin penguasa atau pemerintah untuk membuka lahan baru dan memfungsikannya lahan yang gersang. Pendapat mereka terbagi terbagi dua golongan besar yakni ulama Hanfiyah dan Malikiyah.
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau menghidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada penguasa atau pemerintah berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
مَنْ اَحْيَا اَرْضَ مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ 
Barang siapa yang mneghidupkan tanah yang mati, maka ia menjadi pemiliknya”.
(HR. Ahmad dan Trimidzi).
Hanafiyah memahami bahwa ketika hadis ini disabdakan, Nabi Muhammad saw. Ketika itu selain berfungsi sebagai Rasulullah juga sebagai penguasa. Oleh karena itulah, pembuka lahan tersebut harus  meminta izin kepada pengusa atau pemerintah.
Sementara itu, Malikiyah berpendapat bahwa, seorang yang akan membuka lahan baru atau akan memfungsikan lahan mati atu gersang, tidak wajib meminta izin kepada penguasa atau pemerintah, sebab ketika Nabi Muhammad saw, berbicara seperti yang termuat dalam hadis diatas tadi, Muhammad saw hanya berposisi sebagai Nabi atau Rasulullah bukan sebagai penguasa.
E.     Milik Bersama pada Tanah Kosong
Menurut salah satu hadis dari beberapa hadis yang berkaitan dengan ihyal al-mawat disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
اَلنَّاسُ شُرَ كَاءُ فِى ثَلَاثَةٍ فِى الْكَلَّاءِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Manusia itu bersekutu (mempunyai hak bersama) pada dalam tiga benda yaitu rumput, air dan api”.(HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dengan memperhatikan hadis tersebut diatas, para ulama berpendapat bahwa sekalipun tanah atau lahan kosong tersebut telah diolah dan dimiliki oleh seseorang, didalamnya terdapat hak-hak sosial yang tidak dapat dilarang untuk dinikmati masyarakat demi keberlangsungan kehidupannya. Hak-hak tersebut ialah hak terhadap air, rumput dan api.
Oleh karena itu menurut para ulama haram hukumnya melarang orang yang menggunakan benda-benda tersebut, mengapa ? karena ketiga benda tersebut sangat vital kegunanaannya untuk keberlangsungan kehidupan, terutama pada saat hadis ini disabdakan.
F.      Pembagian tanah
Membagi-bagikan tanah atau lahan diperbolehkan menurut ajaran Islam, asalkan saja tanah itu belum menjadi hak milik seseorang atau suatu lembaga, misalkan tanah-tanah yang dikuasi oleh Negara.
Menurut Qadhi ‘Iyad yang dimaksud dengan al-Iqtha (membagi-bagikan tanah) adalah pemberian pemerintah dari harta Allah swt. Yang diangga layak dan pantas untuk itu, dengan cara-cara sebagai berikut:
1.      Sebagian tanah atau lahan diberikan kepada orang-orang yang mampu dan layak mengolahnya. Maka tan itu akan menjadi hak milik orang tersebut supaya dikelola demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
2.      Sebagian tanah dberikan sebagai hak guna usaha bukan sebagai hak milik. Jenis lahan atu tanh ini diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang tertentu yang layak dan mampu memfungsikannya. Hasilnya tentu saja seain untuk pengelola, yag lebih penting untuk kebutuhan masyarakat. 
G.    Temuan dalam tanah baru
Menurut (Hendi Suhendi) seseorang yang telah memiliki tanah atau lahan dibolehkan mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kehendakanya,dan yang terpenting tidak  mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak sosial. Batas-batas lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti ditandai dengan pohon-pohon, pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang terpenting dapat menujukkan batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari perselisihan kepemilikan hak dengan orang lain.[6]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara etimologi Ihya artinya menjadikan sesuatau menjadi hidup, dan al-Mawat ialah sesuatu yang bertidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap. Pembahasan tentang Ihya’ul Mawat berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan dimiliki seseorang. Adapun secara terminologi Ihya’ul Mawat adalah penggarapan lahan atau tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman.
Ihya’ul Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi lahan tertanami, yang tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian, perkebunan, maupun bangunan.  



[1] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 291
[2] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 169
[3] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, hlm. 291
[4] Ibid., hlm. 293
[5] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, hlm. 169
[6] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, hlm. 294-298

0 komentar:

Posting Komentar

Gambar tema oleh enjoynz. Diberdayakan oleh Blogger.

© Life is Syari'ah, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena