PEMBAHASAN
Ihya’ul Mawat
A. Definisi Ihya’ul Mawat
Ihya’ul mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak
dimiliki seseorang dan belum digarap,[1] kemudian memamurkannya dengan menanam pohon
di dalamnya, atau membangun rumah di atasnya, atau menggali sumur untuk dirinya
dan menjadi milik pribadinya.[2]
Para ulama’ fiqh mendefinisikan
ihya al-mawat sebagai berikut :
1.
Asy-Syarbaini
al-Khatib berpendapat bahwa ihya al-mawat adalah menghidupkan tanah yang tidak ada
pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan seorangpun.
2.
Menurut
Idris Ahmad yang dimaksud ihya al-mawat ialah memanfaatkan tanah kosong untuk
dijadikan kebun, sawah dan lainnya.
3.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ihya al-mawat adalah penggarapan lahan atau
tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaaan
irigasi serta jauh dari pemukiman.
Ihyal al-mawat bertujuan agar
lahan-lahan yang gersang menjadai tertanami, yang tidak produktif menjadi
produktif, baik sebagai lahan pertanian, perkebunan maupaun untuk bangunan.
Indikasi yang mneunjukkan kepada adanya ihya al-mawat adalah dengan memnggarap
tanah tersebut, misalnya jika tanah itu ditujukan untuk keperluan pertanian
atau perkebunan tanah tersebut dicagkul, dibuatkan irigasai dan lainnya. [3]
B.
Landasan
Hukum Ihya’ul Mawat.
Rasulullah
Saw, bersabda:
مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Barang siapa yang membagun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka
dialah yang berhak atas tanah itu”.
(HR Riwayat Imam Al-Bukhari).
مَنْ اَحْيَا اَرْضَ مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
“Barang
siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadis tersebut para ulama berpendapat bahwa hukum ihya
al-mawat adalah mubah bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang mana hadis di atas memotivasi umat Islam
untuk menjadikan lahan kosong menjadi lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan oleh Allah Swt, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
C.
Cara-cara
mengolah ihya’ul mawat dan syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang cara mengelola lahan yang
menjadi objek ihya’ul mawat.
1.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, cara pengolahannya adalah dengan menggarapnya
sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohanan yang ada
didalamnya, mencangkul lahannya, membuat saluran irigasinya, baik dengan
menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan
pepohonan atau tanaman-tanaman produktif serta memagarinya.
2.
Menurut
Syafi’iyyah, mengatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong, dikembalikan
kepada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan
untuk lahan tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan dibangun rumah
diatasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian maka lahannya diolah, irigasinya
dibuat, dan menanaminya dengan tanaman produktif.
3.
Menurut
Hanabilah, cara pengelolaan ihya’ul mawat adalah cukup dilakukan dengan memagar lahan
yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan, maupun
perumahan.[4]
Adapun cara pemberdayaan alam atau Pemberdayaan ihya’ul mawat dalam
buku Fikih Ulama Klasik dan Kontemporer, antara lain:
Pemberdayaan alam dan lingkungan apabila milik pemerintah tentunya
harus ada perizinannya dari pemerintah yang bersangkutan. Dalam pemberdayaan
sumber daya alam ditempuh dengan pola sebagai berikut:
a. Pengembangan pertanian dan pekebunan, yaitu menyuburkan tanah yang
gersang untuk pertanian atau perkebunan dengan teknologi pertanian, menggunakan
sistem pengairan, atau memberikan pola pupuk yang sesuai dengan tanamannya.
b. Pengembangan industri. Tanah yang belum diberdayakan itu didirikan
bangunan, tempat-tempat industri atau didirikan pasar atau kegunaan industri
dan bisnis lainnya.
c. Didirikan tempat-tempat kegiatan sosial, misalnya, tempat rekreasi
atau tempat-tempat lain yang memberikan manfaat bagi masyarkat.[5]
Syarat-syarat pengelolaan ihya’ul mawat terkait dengan
orang yang mengolah, lahan yang akan diolah, dan proses pengolahan.
1.
Syarat
yang terkait dengan orang yang mengolah. Untuk orang yang mengolah menurut
ulama Syafi’iyah harus orang muslim.adapun non-muslim tidak berhak mengolah
sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Sementara ulama Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan mengolah tanah itu disyaratkan
tidak seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya orang muslim dan
non-muslim dalam mengolah lahan kosong, yang terpenting kegunaannya selain
untuk dirinya juga bermanfaat untuk masyarakat banyak.
2.
Syarat
yang terkait dengan lahan yang akan digarap. Untuk kepentingan ini disyaratkan
a.
Lahan
itu bukan lahan yang telah dimiliki seseorang
b.
Lahan
itu bukan lahan yang dijadikan sarana umum bagi sebuah perkampungan, seperti
lapangan olahraga, lahan untuk mengembala ternak, dan lahan untuk pemakaman.
3.
Syarat
yang terkait dnegan pengolahan lahan
a.
Pengolahan
harus mendapatakan izin dari pemerintah
b.
Lahan
tersebut harus sudah diolah dalam waktu yang telah ditentukan
D.
Izin
Penguasa dalam Ihya’ul Mawat
Para ulama berbeda berpendapat tentang perlunya izin penguasa atau
pemerintah untuk membuka lahan baru dan memfungsikannya lahan yang gersang.
Pendapat mereka terbagi terbagi dua golongan besar yakni ulama Hanfiyah dan
Malikiyah.
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau
menghidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada
penguasa atau pemerintah berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
مَنْ اَحْيَا اَرْضَ مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
“Barang
siapa yang mneghidupkan tanah yang mati, maka ia menjadi pemiliknya”.
(HR.
Ahmad dan Trimidzi).
Hanafiyah memahami bahwa ketika hadis ini disabdakan, Nabi Muhammad
saw. Ketika itu selain berfungsi sebagai Rasulullah juga sebagai penguasa. Oleh
karena itulah, pembuka lahan tersebut harus
meminta izin kepada pengusa atau pemerintah.
Sementara itu, Malikiyah berpendapat bahwa, seorang yang akan
membuka lahan baru atau akan memfungsikan lahan mati atu gersang, tidak wajib meminta
izin kepada penguasa atau pemerintah, sebab ketika Nabi Muhammad saw, berbicara
seperti yang termuat dalam hadis diatas tadi, Muhammad saw hanya berposisi
sebagai Nabi atau Rasulullah bukan sebagai penguasa.
E.
Milik
Bersama pada Tanah Kosong
Menurut salah satu hadis dari beberapa hadis yang berkaitan dengan ihyal
al-mawat disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
اَلنَّاسُ
شُرَ كَاءُ فِى ثَلَاثَةٍ فِى الْكَلَّاءِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Manusia itu bersekutu
(mempunyai hak bersama) pada dalam tiga benda yaitu rumput, air dan api”.(HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dengan memperhatikan hadis tersebut diatas,
para ulama berpendapat bahwa sekalipun tanah atau lahan kosong tersebut telah
diolah dan dimiliki oleh seseorang, didalamnya terdapat hak-hak sosial yang
tidak dapat dilarang untuk dinikmati masyarakat demi keberlangsungan
kehidupannya. Hak-hak tersebut ialah hak terhadap
air, rumput dan api.
Oleh karena itu menurut para ulama haram
hukumnya melarang orang yang menggunakan benda-benda tersebut, mengapa ? karena
ketiga benda tersebut sangat vital kegunanaannya untuk keberlangsungan
kehidupan, terutama pada saat hadis ini disabdakan.
F.
Pembagian
tanah
Membagi-bagikan tanah atau lahan diperbolehkan
menurut ajaran Islam, asalkan saja tanah itu belum menjadi hak milik seseorang
atau suatu lembaga, misalkan tanah-tanah yang dikuasi oleh Negara.
Menurut Qadhi ‘Iyad yang dimaksud dengan al-Iqtha (membagi-bagikan
tanah) adalah pemberian pemerintah dari harta Allah swt. Yang diangga layak dan
pantas untuk itu, dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Sebagian
tanah atau lahan diberikan kepada orang-orang yang mampu dan layak mengolahnya.
Maka tan itu akan menjadi hak milik orang tersebut supaya dikelola demi
mencukupi kebutuhan hidupnya.
2.
Sebagian
tanah dberikan sebagai hak guna usaha bukan sebagai hak milik. Jenis lahan atu
tanh ini diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang tertentu yang layak dan
mampu memfungsikannya. Hasilnya tentu saja seain untuk pengelola, yag lebih
penting untuk kebutuhan masyarakat.
G. Temuan dalam tanah baru
Menurut (Hendi Suhendi) seseorang yang telah
memiliki tanah atau lahan dibolehkan mengelola dan memanfaatkannya sesuai
dengan kehendakanya,dan yang terpenting tidak
mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak sosial. Batas-batas lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti
ditandai dengan pohon-pohon, pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang
terpenting dapat menujukkan batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini
dilakukan untuk menghindari perselisihan kepemilikan hak dengan orang lain.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi Ihya artinya
menjadikan sesuatau menjadi hidup, dan al-Mawat ialah sesuatu yang bertidak
bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum
digarap. Pembahasan tentang Ihya’ul Mawat berkaitan dengan persoalan
tanah kosong yang belum digarap dan dimiliki seseorang. Adapun secara terminologi
Ihya’ul Mawat adalah penggarapan lahan atau tanah yang belum dimiliki
dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta jauh dari
pemukiman.
Ihya’ul Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi lahan tertanami,
yang tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian,
perkebunan, maupun bangunan.
0 komentar:
Posting Komentar