Sabtu, 16 Mei 2015

Mahkum 'Alaih



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukalla, baik berupa perintah, larangan, memilih atau ketetapan. Dari definisi ini perlu diungkap tentang pembentuk hokum syara’ (al-hakim) serta perbuatan orang-orang mukallaf sebagaimana telah diuraikan. Kini tinggalah masalah mukallaf yang melakukan perbuatan yang belum dibicarakan dan mereka itulah yang disebut sebagai al mahkum ‘alaih orang yang menjadi objek hokum dalam istilah hokum disebut subjek hokum. Jadi, mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf, karena dialah orang yang perbuatannya dihukum untuk diterima atau ditolak dan termasuk atau dalam cakupan perintah atau larangan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud Mahkum ‘Alaih?
2.      Apakah yang dimaksud Taklif?
3.      Apakah syarat-syarat Taklif?
4.      Apa saja halangan Ahliyyah?


BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pengertian Mahkum ‘Alaih

Para ulama ushul fiqh telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih  ((اَلُمَحْكُوْمُ عَلَيْهِ adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf  berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). [1] Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya,
baik di dunia maupun akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau risiko dosa karena melanggar aturan-Nya, disamping tidak memenuhi kewajibannya.

2.   TAKLIF

a.      Dasar taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran kalau sebagian besar ulama Ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk golongan ini, dalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).[2] Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw:

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّا ئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ اْلمَجْنُو نِ حَتَّى يَفِيْقَ
Artinya:
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampaiia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila samopai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari ‘Ali ibn Abi Thalib).

Dalam hadist lain dikatakan:
رُفِعَ أُمَّتِيْ عَنِ اْلخَطَأِ وَ النِّسْيَانِ وَمَا اسْتُكْرِ هُوَا لَهُ
Artinya:
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan Al-Thabrani).
b.      Syarat-Syarat Taklif
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dikenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:[3]
1.      Orang itu telah memahami khithab Syari’ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah baik secara langsung maupun melalui orang lain. Karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan disuruh atau dilarang tergantung pemahaman terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab Syari’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab Syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
 Kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai memlalui akal manusia, karena akallah yang bisa mengetahui taklif itu dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, karena akal adalah sesuatu yang abtrak dan sulit menentukan patoakan dasar sebagai indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit itu adalah balighnya seseorang.
2.      Seseorang harus cakap bertindak hokum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan     ahliyah artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hokum maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu anak kecil yang belum baligh belum cakap bertindak hokum dan tidak di kenakan tuntutan syara’.
3.      Ahliyah
Pengertian ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk menghidupi suatu jabatan atau posisi berarti ia mempunyai kemampuan kepribadian untuk itu.

صِفَةٌيُقَدِرُهَا الشَّارِعُ فِي الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّصَا لِحًا لِخَطَابٍ تَشْرٍيعِيّ

 “suatu sifat yang dimiliki  seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dekenai tuntutan syara’.
Maksudnya, ahliayah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindaknya dapat dinilai oleh Syara’.  Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Oleh sebab itu jual belinya sah, hibahnya sah dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[4]

4.      Pembagian Ahliyah
Menurut para ulama’ ushul fiqh, ahliayah terbagi dalam dua bentuk yaitu :
a.       Ahliyah ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk memepertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntutan syara’, ia dianggap telah memenuhi kewajiaban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya bila melanggar  tuntutan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Denagn kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan keawjiaban.
           Menurut kesepakatan ulama’ ushul fiqh yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyah ada’ adalah ‘aqil, baligh dan cerdas. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa : 6

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya :
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untik menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya”

Kalimat “cukup umur” dalam ayat dia atas, menurut ulama’  ushul fiqh, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita. Orang seperti itulah yang di anggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan laranagan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan denagn benar. Apabial ia tidak melaksanakan perintah dan melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik dunia maupun akhirat.[5]
b.      Ahliyah al-wujub
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya kepada orang yang memiliki ahliyyah al-wujub, maka disebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya dirusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan, ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia.
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub seseorang adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, balig atau tidak, dan cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia ini sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat itu. Sifat ini hanya akan hilang dari seseorang apabila nyawanya sudah hilang. Berdasarkan ahliyah-wujub, seseorang yang baru lahir, apabila ada orang yang berwasiat kepadanya, maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga seseorang yang masih bayi, lalu ayahnya wafat, maka ia berhak atas pembagian warisan dari ayahnya. Akan tetapi, seluruh harta yang dimiliki oleh orang yang pada taraf ahliyah al-wujub tidak boleh ia kelola sendiri tetapi harus dikelola oleh wali, karena mereka belum dianggap cakap untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para ulama ushul fiqh juga membagi ahliyyah al-wujub kepada dua bagian yaitu:
1.      Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seseorang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin dianggap memiliki Ahliyah al-wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
a.    Hak keturunan dari ayahnya
b.   Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia
c.    Wasiat yang ditujukan kepadanya
d.   Harta wakaf yang ditujukan kepadanya
2.     Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu, kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan balig dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang.
Dalam status Ahliyyah al-wujub (sempurna atau tidak), seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti shalat dan puasa (yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hokum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Para ulama juga membahas beberapa tindakan hokum orang yang telah memiliki Ahliyyah tersebut. Apabila tindakan tersebut merugikan orang lain, maka baik orang yang telah berstatus Ahliyyah al-ada’ maupun yang berstatus Ahliyyah al-wujub al-kamilah, wajib mempertanggung jawabkannya. Apabila tindakan tersebut berkaitan dengan kerugian materi, maka orang tersebut wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Oleh sebab itu, pengadilan berhak untuk memerintahkan wali anak kecil yang masih dalam Ahliyyah al-wujub al-kamilah, supaya mengeluarkan ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.




c.       Halangan Ahliyyah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa penentuan cakap atai tidaknya seseorang dalam bertindak hokum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, mereka juga sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak, baik dalam tindakan hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang terbatas. Dalam hubungan ini, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan:
1.      Awaridh al-samawiyyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
2.      Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
a.       Mabuk
Menurut Abu Hanifah seseorang disebut mabuk bila benar hilang kesadarannya sampai tidak bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Orang mabuk tetap terkena hukum dan tidak bebas. Dia bertanggung jawab atas perbuatannya secara global, bukan terinci setelah sadar.
Namun Ulama sepakat bahwa bila mabuk terjadi karena sesuatu yang mubah, seperti makan makanan atau tertentu, atau karena hal haram tapi karena hal terpaksa, maka ia tidak terkena hukuman atas perkataan atau perbuatan yang keluar akibat mabuk tersebut.
b.      Terpaksa
Kata iqroh (paksaan) dalam bahasa arab seakar dengan kata karahah yang berarti benci. Maka arti lughawi kata iqrah (paksaan) adalah suatu kondisi yang membuat seseorang harus melakukan sesuatu yang dibencinya. Menurut hokum syari’ah kondisi yang membuat seseorang harus melakukan atau mengucapkan sesuatu yang tidak ia inginkan artinya, dia selamanya tidak rela terhadapnya. Karena itu, paksaan dan rela adalah dua kata berlawanan.
Para ulama ushul fiqh membagi paksaan menjadi 3 macam:
1.      Paksaan mematikan (al-iqroh al-mulji’), yaitu paksaan yang mengancam hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan seperti pembunuhan atau memotong atau melukai anggota badan. Paksaan semacam ini juga disebut paksaan sempurna (iqroh tam) karena membuat orang yang dipaksa sepenuhnya berada dalam kekuasaan orang yang memaksa, seperti pedang ditangan penjahat
2.      Paksaan tidak mematikan (al-iqroh ghoir al-mulji’), yaitu yang secara prinsip menghilangkan kerelaan, yaitu ancaman merusak sebagian harta atau pukulan yang tidak merusak anggota badan. Paksaan semacam ini disebut juga paksaan yang kurang (iqroh naqist)
3.      Paksaan yang mengena keluarganya (bapak, anak, istri) atau kerabatnya dengan ancaman yang tidak sampai pada hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan. Para ulama berbeda pendapat apakah paksaan ketiga ini diakui sah secara syara’ yang bisa menggugurkan dampak-dampaknya atau tidak. Menurut Fahrul Islam al-Basdawy hal itu bukan paksaan.
c.       Bodoh
Keadaan yang membuat seseorang yang tidak bisa mengelola hartanya dengan baik sehingga ia pergunakan tidak pada tempatnya. Orang yang bodoh sebenarnya berakal, hanya saja ia tidak cakap, sehingga ia tetap terkena seluruh taklif syar’I dan dibalas semua perbuatannya.[6]

Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan bertindak hukum seseorang itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya. Menurut ulama ushul fiqh, perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Karenanya mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya kepada tiga bentuk: 
a.       Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum  secara sempurna (ahliyyah al-ada) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa. Dalam keadaan seperti ini, kecakapan hukum seseorang hilang sama sekali, sehingga seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan.
b.      Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada, seperti orang dungu. Apabila seseorang terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya.
c.       Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seorang, seperti orang yang berutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan tolol. Sifat-sifat seperti ini sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah. Misalnya, orang yang berada di bawah pengampunan, tindakan hukumnya dalam masalah harta dibatasi demi kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.   








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

1.      Para ulama ushul fiqh telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih  ((اَلُمَحْكُوْمُ عَلَيْهِ adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf
2.      Taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran kalau sebagian besar ulama Ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
3.      a. Orang itu telah memahami khithab Syari’ (tuntutan syara’)
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum
c. Ahliyah
4. Dalam hubungan ini, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan:
a. ‘Awaridh al-samawiyyah
b. ‘Awaridh al-muktasabah
Halangan bertindak hukum dilihat dari segi objeknya kepada tiga bentuk: 
a.    Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum  secara sempurna (ahliyyah al-ada)
b.   Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada
c.    Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seorang












DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA)
Zahrah, Abu Muhammad. 2000. Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Firdaus)




[1]Nasrun Haroen,  Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 304
[2] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 335
[3] Nasrun Haroen,  Ushul, hlm. 306
[4] Nasrun Haroen,  Ushul, hlm. 308
[5] Ibid, hlm. 309
[6] M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 518

0 komentar:

Posting Komentar

Gambar tema oleh enjoynz. Diberdayakan oleh Blogger.

© Life is Syari'ah, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena